Ario Tamat bekerja di industri musik digital di Indonesia pada tahun 2003-2010, dan saat ini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Dia bisa ditemui di Twitter di @barijoe atau blog-nya di http://barijoe.wordpress.com
Setelah membaca artikel Aulia, saya merasa bahwa saya perlu menambahkan artikel tersebut dengan fakta dan informasi tambahan serta pendapat saya sendiri tentang topik yang sering dibahas namun dipandang lambat bergerak, yaitu seputar industri musik ke arah medium digital di Indonesia.
Saya telah menulis secara panjang lebar tentang ke mana industri musik ini harus bergerak – digital atau lainnya, serta tulisan lain tentang beberapa pertanyaan seputar kontroversi RBT, jadi saya tidak akan menyentuh tema-tema tersebut.
Mari kita lihat beberapa poin yang dimuat dalam artikel Aulia:
Salah satu yang menjadi isu utama bagi saya dalam industri yang disebut digital musik di Indonesia adalah persepsi bahwa sekarang penjualan RBT telah runtuh, RBT dianggap produk yang tidak diinginkan dan perlu ada sebuah ‘hal besar berikutnya’ yang menjadi harapan dan impian dari pendapatan baru. Saya pikir bukan begitu caranya.- Sebagian besar label musik bekerja secara langsung dengan telco untuk menyediakan konten musik, dan beberapa penyedia konten mengagregasi dari label musik yang lebih kecil, atau mengembangkan daftar artis mereka sendiri untuk lebih memanfaatkan potensi bisnis RBT.
- Layanan RBT sendiri menggunakan SMS premium karena itu adalah cara yang paling sederhana. Tetapi sistemnya sendiri berbeda dari layanan SMS premium pada umumnya karena biasanya layanan SMS premium memiliki server yang ada di pihak penyedia konten dan melanjutkannya melalui sistem penagihan di pihak telco untuk proses pembayaran, sedangkan sistem RBT diinstal di sisi telco.
- Efek long tail jumlah konten yang benyak atau perpustakaan musik untuk sistem RBT tidak benar-benar bekerja, karena tidak ada sistem musik yang efisien untuk menemukan berbagai koleksi tersebut. Pada akhirnya, label musik dan atau penyedia konten masih mengandalkan iklan above-the-line di radio, TV dan media cetak untuk mempromosikan musik tersebut, dan dengan demikian menekankan lebih pada penjualan lagu-lagu hit. Jadi sekali lagi, penjualan RBT masih mengandalkan airplay, dengan media TV yang paling berpengaruh (sehingga mendukung penyebaran musik di televisi seperti acara Dahsyat dan Inbox).
- Label musik yang saat ini masih lebih menerima DRM atau perlindungan file, karena pada dasarnya lebih mudah untuk mengontrol. Pasar Indonesia – dan konsumen Indonesia – belum pernah merasakan kondisi di mana mereka hanya bisa memutar lagu yang dibeli dari iTunes di iPod. Konsumen di sini lebih terbiasa dengan musik ilegal, file musik tidak terproteksi. Jadi jika satu file musik dirilis pada layanan berbayar, tidak diproteksi, kemungkinan besar file ini akan didistribusikan ke jaringan ilegal dalam sekejap mata, sehingga kerugian dari penjualan menjadi eksponensial. Hal ini akan terus terjadi sampai industri musik menemukan cara yang menarik untuk mempengaruhi konsumen musik atas layanan musik legal tanpa adanya pembatasan.
- Telkomsel baru-baru ini telah meluncurkan LangitMusik Hit yang merupakan layanan all-you-can-eat untuk musik dengan harga Rp 1000/minggu, (yang saya pikir juga memuat kebijakan fair-use) bebas DRM. Layanan berlangganan musik lainnya adalah layanan musik dari Bakrie Telecom, yang juga menetapkan tarif Rp 1000/minggu, tetapi terikat dengan sebuah telepon (pada dasarnya DRM juga), dan ini dimulai dengan HP Esia Musicbox, kemudian ditawarkan untuk ponsel Esia lainnya.
- Sampai saat ini, Spotify belum mengkonfirmasi bagaimana dan kapan mereka akan memasuki pasar Asia, dan Deezer pun akan memiliki masalah yang sama seperti Spotify jika mereka masuk ke Indonesia.
Sejak 2009, perusahaan lokal telah berusaha untuk menghadirkan layanan download musik/layanan streaming yang layak, yang tersedia di pasar, sebut saja beberapa nama seperti: Kapanlagi, Kongkoow (by IndosatM2), Souniq Music, Streamsation dan layanan musik legal lainnya, meskipun dengan kisah sukses yang terbatas, bahkan untuk layanan yang paling hype, Langitmusik (meskipun saya berharap inkarnasi saat ini akan jauh lebih baik).
Masalahnya adalah, banyak ‘toko’ telah ada, tetapi tidak banyak orang yang tahu tentang mereka, atau tidak tertarik untuk membayar untuk musik. Seperti tren yang muncul di industri teknologi, jawabannya adalah bukan tentang beralih ke aliran pendapatan yang lebih menguntungkan, tapi lebih tentang bagaimana membuat ekosistem yang saling berhubungan atas berbagai komponen kecil, yang akan menciptakan pengalaman menyeluruh yang hebat dan memungkinkan berbagai model pemasukan.
Pasar telah terfragmentasi oleh selera musik serta disposable income yang mungkin tersedia untuk dialokasikan dalam pembelian musik, sehingga berbagai tingkat dan layanan harus diciptakan untuk segmen ini, alih alih mencoba untuk membuat format, platform atau media yang mencakup segalanya dan berharap semua orang akan membayar untuk itu. Dengan pengalaman desain yang lebih baik serta penargetan konsumen yang lebih baik pula, hasil pencarian dan penjualan musik bisa dioptimalkan.
Jadi, masa depan musik digital tidak hanya melalui media sosial dan tidak hanya melalui aplikasi musik yang dikembangkan untuk iOS atau Android. Tidak ada “solusi akhir” yang sama yang akan bekerja untuk para artis dan label, tetapi kombinasi yang berbeda dari konten, promosi, hasil pencarian dan penjualan musik untuk setiap artis, bahkan untuk setiap lagu.
Perkembangan dalam industri internet (online dan mobile) akan menjamin berbagai peluang yang akan tersedia untuk industri musik – bahkan termasuk bentuk ‘tradisional’ dari musik seperti CD, atau promosi melalui media secara above-the-line – kondisi ini hanya membutuhkan orang-orang yang dapat memanfaatkannya dengan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar